ASUHAN
KEPERAWATAN COR PULMONAL
DISUSUN OLEH :
1.
Nur
Rahmat R ( 201202039 )
2.
Andriani
Norrita S (
201202004 )
3.
Riske
Dwi H. ( 201202048
)
4.
Febriansyah
M. P. (
201202018 )
5.
Beuty
Joanita P. (
201202010 )
6.
Yoga
Ridho F. ( 201202059 )
7. Renzy Avionita (
201202044 )
PRODI SI
KEPERAWATAN
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN
BAKTI
HUSADA MULIA MADIUN
TAHUN AJARAN 2014/2015
ASUHAN
KEPERAWATAN (ASKEP) COR PULMONAL
ATAU
PULMONARY HEART DISEASE
A.
Definisi
Pulmonary
heart disease adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan/atau dilatasi)
yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau kelainan pada
kontrol pernafasan. Tidak termasuk di dalamnya kelainan jantung kanan yang
terjadi akibat kelainan jantung kiri atau penyakit jantung bawaan.
Cor Pulmonale (CP) adalah suatu keadaan dimana
terdapat hipertofi dan atau dilatasi dari ventrikel kanan sebagai akibat dari
hipertensi (arteri) pulmonal yang disebabkan oleh penyakit intriksik dari
parenkhim paru, dinding thoraks maupun vaskuler paru. Karena itu untuk
mendiagnosa CP maka harus disingkirkan adanya Stenosis Mitral, Kelainan jantung
Bawaan atau Gagal Jantung Kiri yang juga dapat menyebabkan dilatasi dan
hipertrofi ventrikel kanan. CP dapat bersifat akut akibat adanya emboli paru
yang masif, dapat juga bersifat kronis.
Pulmonary
heart disease dapat terjadi akut maupun kronik. Penyebab pulmonary heart
disease akut tersering adalah emboli paru masif, sedangkan pulmonary heart
disease kronik sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Pada pulmonary heart disease kronik umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan,
sedangkan pada pulmonary heart disease akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.
Tidak semua pasien PPOK akan mengalami pulmonary heart disease, karena banyak
usaha pengobatan yang dilakukan untuk mempertahankan kadar oksigen darah arteri
mendekati normal sehingga dapat mencegah terjadinya Hipertensi Pulmonal. Pada
umumnya, makin berat gangguan keseimbangan ventilasi perfusi, akan semakin
mudah terjadi ganguan analisis gas darah sehingga akan semakin besar terjadinya
Hipertensi Pulmonal dan pulmonary heart disease. Penyakit yang hanya mengenai
sebagian kecil paru tidak akan begitu mempengaruhi pertukaran gas antara alveoli
dan kapiler sehingga jarang menyebabkan terjadinya Hipertensi Pulmonal dan
pulmonary heart disease. Tuberculosis yang mengenai kedua lobus paru secara
luas akan menyebabkan terjadinya fibrosis disertai gangguan fungsi paru
sehingga menyebabkan terjadinya pulmonary heart disease. Hipoventilasi alveoli
sekunder akibat sleep apnea syndrome tidak jarang disertai dengan Hipertensi
Pulmonal dan pulmonary heart disease Kronik. Beberapa penyebab dari CP
disebutkan seperti dibawah ini.
B.
Patogenesis
1.
Cor Pulmonale Akut
Pada emboli paru yang masif terjadi
obstruksi akut yang luas pada pembuluh darah paru. Akibatnya adalah:
Tahanan vaskuler paru yang meningkat
dan vasokonstruksi menyebabkan tekanan pembuluh darah arteri paru yang
meningkat (hipertensi pulmonal).
Hipertensi pulmonal yang terjadi
secara akut tidak memberikan waktu yang cukup bagi ventrikel kanan untuk
berkompensasi, sehingga terjadilah kegagalan jantung kanan akut. Gagal jantung
kanan mulai terjadi jika tekanan arteri pulmonalis meningkat tiba-tiba melebihi
40-50 mmHg. Gagal jantung kanan akut ditandai dengan sesak nafas yang terjadi
secara tiba-tiba, curah jantung menurun (low output state) sampai syok, JVP
yang meningkat, liver yang membengkak dan nyeri dan bising insufisiensi
trikuspid.
2.
CP Kronis
Seperti yang telah disebutkan, PPOM
adalah penyebab tersering CP kronis (lebih dari 50% kasus). Pada penyakit paru
kronis maka akan terjadi penurunan vaskuler bed paru, hipoksia, dan
hiperkapnea/asidosis respiratorik. Hipoksia dapat mengakibatkan penyempitan
pembuluh darah arteri paru, demikian juga asidosis respiratorik. Di samping itu
hipoksia akan menimbulkan polisitemia sehingga viskositas darah akan meningkat.
Viskositas darah yang meningkat ini pada akhirnya akan meningkatkan tekanan
pembuluh darah arteri paru akan meningkat. Jadi adanya penurunan vaskuler bed,
hipoksia dan hiperkapnea akan mengakibatkan peningkatan tekanan darah (arteri)
pulmonal, hal ini disebut hipertensi pulmonal. Adanya hipertensi pulmonal
menyebabkan beban tekanan pada ventrikel kanan, sehingga ventrikel kanan
melakukan mekanisme kompensasi berupa hipertrofi dan dilatasi. Keadaan ini
disebut Cor pulmonale. Jika mekanisme kompensasi ini gagal maka terjadilah
gagal jantung kanan.
C.
Etiologi
Etiologi
dari CP secara garis besar dapat dibagi menjadi sebagai berikut:
1.
Penyakit Parenkim Paru
·
Penyakit paru obstruktif menahun
(PPOM) merupakan penyebab tersering CP kronis.
·
Brokiektasis
·
Sistik fibrosis
·
Penyakit paru restriktif
·
Pneumokoniosis
·
Sarcoidosis
2.
Kelainan Dinding Thoraks dan otot
pernafasan
·
Kiposkoliosis
·
Amiotrofik lateral sclerosis (ALS)
·
Myasthenia gravis
3.
Sindrom Pickwikian dan sleep apnea
4.
Penyakit vaskuler paru
·
Emboli paru berulang atau emboli
paru masif
·
Emboli paru yang masih masif
merupakan penyebab tersering dari CP akut sedangkan emboli paru berulang dapat
menyebabkan CP kronis.
·
Hipertensi pulmonal primer
·
Anemia sel sabit (Sickle cell
anemia)
·
Skleroderma
D.
Manifestasi Klinis
Informasi
yang didapat bisa berbeda-beda antara satu penderita yang satu dengan yang lain
tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan pulmonary heart disease.
1.
Kor-pumonal akibat Emboli Paru :
·
sesak tiba-tiba pada saat istirahat,
·
kadang-kadang didapatkan
batuk-batuk,
·
dan hemoptisis.
2.
Kor-pulmonal dengan PPOM :
·
sesak napas disertai batuk yang
produktif (banyak sputum).
3.
Cor pulmonal dengan Hipertensi
Pulmonal primer :
·
sesak napas dan,
·
sering pingsan jika beraktifitas (exertional
syncope).
4.
Pulmonary heart disease dengan
kelainan jantung kanan :
·
bengkak pada perut dan, kaki
·
cepat lelah.
Gejala
predominan pulmonary heart disease, yaitu :
·
batuk produktif kronik,
·
dispnea karena olahraga,
·
wheezing respirasi,
·
kelelahan dan kelemahan.
Jika
penyakit paru sudah menimbulkan gagal jantung kanan, gejala - gejala ini lebih
berat:
·
Edema dependen.
·
Nyeri kuadran kanan atas dapat juga
muncul.
·
Kurang tanggap/ bingung.
·
Mata menonjol.
Tanda-
tanda pulmonary heart disease :
·
sianosis,
·
clubbing,
·
vena leher distensi,
·
ventrikel kanan menonjol atau gallop
(atau keduanya),
·
pulsasi sternum bawah atau epigastrium
prominent (menonjol),
·
hati membesar dan nyeri tekan, dan
·
edema dependen.
E.
Patofisiologi
Beratnya
pembesaran ventrikel kanan pada pulmonary heart disease berbanding lurus dengan
fungsi pembesaran dari peningkatan afterload. Jika resistensi vaskuler paru
meningkat dan relative tetap, seperti pada penyakit vaskuler atau parenkim
paru, peningkatan curah jantung sebagaimana terjadi pada pengerahan tenaga
fisik, maka dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis secara bermakna.
Afterload ventrikel kanan secara kronik meningkat jika volume paru membesar,
seperti pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pemanjangan pembuluh paru,
dan kompresi kapiler alveolar.
Penyakit
paru dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan pada suatu waktu akan mempengaruhi
jantung serta menyebabkan pembesaran ventrikel kanan. Kondisi ini seringkali
menyebabkan terjadinya gagal jantung. Beberapa kondisi yang menyebabkan
penurunanan oksigenasi paru dapat mengakibatkan hipoksemia (penurunan PaO2)
dan hipercapnea (peningkatan PaCO2), yang nantinya akan
mengakibatkan insufisiensi ventilasi. Hipoksia dan hiperkapnea akan menyebabkan
vasokonstriksi arteri pulmonal dan memungkinkan terjadinya penurunan
vaskularisasi paru seperti pada emfisema dan emboli paru. Akibatnya akan terjadi
peningkatan ketahanan pada sistem sirkulasi pulmonal, yang akan menjadikannya
hipertensi pulmonal. Tekanan rata-rata pada arteri baru (arterial mean
preassure) adalah 45 mmHg, jika tekanan ini meningkat dapat menimbulkan
pulmonary heart disease. Ventrikel kanan akan hipertropi dan mungkin akan
diikuti gagal jantung kanan.
F.
Pemeriksaan Diagnostik
Pada tingkat hipertensi pulmonal
jantung belum terlihat membesar, tetapi hilus dan arteri pulmonalis utama amat
menonjol dan pembuluh darah perifer menjadi kecil/tidak nyata.
Pada tingkat pulmonary heart disease
jantung terlihat membesar karena adanya dilatasi dan hipertrofi ventrikel
kanan. Hal ini kadang-kadang sulit dinyatakan pada foto dada karena adanya
hiperinflasi paru (misalnya pada emfisema). Selain itu didapatkan juga
diafragma yang rendah dan datar serta ruang udara retrosternal yang lebih
besar, sehingga hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tidak membuat jantung
menjadi lebih besar dari ukuran normal.
Pada tingkat awal (hipoksemia) EKG
hanya menunjukkan gambaran sinus takikardia saja. Pada tingkat hipertensi
pulmonal EKG akan menunjukkan gambaran sebagai berikut, yaitu:
- Gelombang P mukai tinggi pada lead II
- Depresi segmen S-T di II, III, Avf
- Gelombang T terbalik atau mendatar di V1-3
- Kadang-kadang teadapat RBBB incomplete atau complete
Pada tingkat pulmonary heart disease
dengan hipertrofi ventrikel kanan, EKG menunjukkan:
- Aksis bergeser ke kanan(RAD) lebih dari +90
- Gelombang P yang tinggi (P pulmonal) di II, III,Avf
- Rotasi kearah jarum jam (clockwise rotation)
- Rasio R/S di V1 lebih dari 1
- Rasio R/S di V6 lebih dari 1
- Gelombang S ang dalam di V5 dan V6 (S persissten di prekordial kiri)
- RBBB incomplete atau incomplete
Pada cor-pulmonal akut (emboli paru
masif), EKG menunjukkan adanya Right Ventrikular Strain yaitu
adanya depresai segmen S-T dan gelombang T yang terbalik pada sandapan
perikordial kanan. Kadang-kadang kriteria hipertrofi ventrikel kanan yang
klasik sulit didapat. Padmavati dalam penelitiannya menyatakan kriteria yang
lain untuk kor-pulmonal dalam kombinasi EKG sebagai berikut:
- rS di V5 dan V6
- Aksis bergeser ke kanan
- qR di AVR
- P pulmonal
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
adanya polisitemia (Ht > 50%), tekanan oksigen (PaO2) darah
arteri < 60 mmHg,tekanan karbondioksida (PaO2) >50 mmHg.
G.
Penatalaksanaan
Pengobatan
Cor Pulmonale pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu Pengobatan Medik dan
Pengobatan Tindakan bedah.
1.
Pengobatan Medik
Terapi CP difokuskan kepada penyakit
paru sebagai penyakit dasarnya. Yang terbaik adalah menurunkan beban tekanan
pada ventrikel kanan disertai pengobatan yang spesifik untuk penyakit parunya.
Jika tidak terdapat tanda-tanda gagal jantung kanan, tujuan utama pengobatan CP
adalah mencegah terjadinya gagal jantung kanan. Jika hal tersebut sudah
terjadi, maka pengobatan ditujukan untuk gagal jantungnya, tetapi respons
terhadap pengobatan biasanya jelek, kecuali jika pengobatan yang diberikan
dapat mengendalikan hipertensi pulmonalnya.
a. Pengobatan
untuk mengendalikan hipertensi pulmonal
Pengobagtan terhadap hipoksia
merupakan pengobatan yang utama dalam hal menurunkan tekanan darah pulmonal.
Pengobatan terhadap hipoksia ini dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
(1) Pengobatan terhadap penyakit
dasarnya
(2) pemberian Oksigen.
Kedua cara ini hasilnya kurang
memuaskan karena hipertensi pulmonal biasanya sudah menetap sebagai akibat
terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah paru.
Pada CP akut, karena hipertensi
pulmonalnya sebagai akibat obstruksi pembuluh darah paru karena adanya emboli
parunya. Terapi standar adalah heparin 5000-10.000 unit bolus iv dilanjutkan
1000 iu/jam sampai aPTT ½ – 2x normal selama 7-10 hari dilanjutkan warfarin 2-3
bulan. Alternatif lain adalah dengan thrombolysis (mis: streptokinase : 250.000iu
dalam infus selama 30 menit, dilanjutkan 100.000 iu/jam selama 24 - 72 jam,
post thrombolysis dilanjutkan dengan heparin seperti di atas.
Pada penderita CP kronis, sebagian
besar mengalami vasokonstriksi pada pembuluh darah parunya akibat hipoksia.
Pada penderita seperti ini harus diberikan oksigen untuk dapat mencapai tekanan
oksigen arterial ≥ 60 mmHg. Untuk penderita CP dengan PPOM sebagai penyakit
dasarnya perlu ditekankan bahwa dosis oksigen yang diberikan harus rendah (1-2
liter/menit) dan kontinyu. Hal ini disebabkan karena pada penderita PPOM
ventilatory drive nya tergantung dari hipoksia. Jika diberikan oksigen dosis
tinggi maka penderita akan mengalami Oksigen narkosis sehingga pusat nafas
tidak lagi terangsang dan penderita dapat meninggal karena gagal nafas. Di
samping itu harus dihindari bahan-bahan iritant termasuk asap rokok.
Obat-obatan lain yang biasanya diberikan adalah bronkodilator (aminofilin, β2
agonis), mukolitik dan ekspektoran untuk memudahkan pengeluaran dahak serta
antibiotik jika terjadi eksaserbasi akut dari bronkitis. Dengan pengobatan di
atas beberapa penderita dapat diperbaiki ventilasi alveolarnya sehingga
hipoksianya dan atau asidosis respiratoriknya dapat diatasi. Koreksi asidosis
dan hipoksia pada beberapa kasus dapat menurunkan tekanan pembuluh darah
(arteri) pulmonal. Oksigenasi yang adekuat telah terbukti dapat menunda
terjadinya gagal jantung kanan dan memperpanjang harapan hidup penderita.
b. Pengobatan
gagal jantung
Pada CP yang disertai gagal jantung
kanan (Cor Pulmonale Chronicum Decompensata = CPCD) pengobatan penyakit paru
yang mendasari dan penanganan hipoksia tetap menjadi terapi utama. Diuretik dan
flebotomi merupakan terapi yang cukup baik pada CPCD. Vasodilator pulmoner memberikan
hasil yang cukup baik pada beberapa penderita hipertensi pulmonal primer,
tetapi hasilnya tidak meyakinkan pada penderita CPCD dengan PPOM sebagai
penyakit dasarnya. Pemberian digitalis untuk penderita gagal jantung kiri.
Disamping itu kemungkinan terjadinya intoksikasi digitalis lebih besar pada
penderita CPCD karena adanya hipoksia dan asidosis respiratorik. Karena itu
pemberian digitalis harus sangat hati-hati pada penderita CPCD. Pemberian
digitalis dapat dipertimbangkan jika terdapat juga gagal jantung kiri atau
adanya aritmia terutama Atrial Fibrilasi walaupun harus tetap hati-hati.
Diuretik efektif untuk pengobatan CPCD, terutama pada penderita dengan PPOM
sebagai penyakit dasarnya. Efek diuretik harus dimonitor secara ketat dengan
pemeriksaan analisa gas darah. Pemberian diuretik yang berlebihan dapat
menimbulkan metabolik alkalosis yang pada akhirnya dapat menekan pusat
pernafasan dan berakibat fatal pada penderita. Flebotomi dapat dipertimbangkan
jika PCV > 55-60%. Pengambilan darah 200-300 cc secara hati-hati dapat
menurunkan tekanan arteri pulmonal dan mungkin dapat memperbaiki fungsi
ventrikel kanan.
2.
Pengobatan Tindakan Bedah
Pada beberapa kasus CP tindakan
bedah mempunyai peran dalam pengobatan. Pulmonal Embolectomy sangat bermanfaat
pada penderita emboli paru. Adenoidectomi pada anak dengan obstruksi jalan
nafas kronis, uvulopalatopharyngeoplasty pada penderita sleep apnea dapat
mengobati CP akibat hipoventilasi yang kronis. Transplantasi jantung-paru
dilakukan pada penderita CPCD tahap akhir (end stage).
H.
Komplikasi
Komplikasi dari pulmonary heart
disease diantaranya:
a.
Sinkope
b.
Gagal jantung kanan
c.
Edema perifer
d.
Kematian
I.
Prognosis
Belum
ada pemeriksaan prospektif yang dilakukan untuk mengetahui prognosis pulmonary
heart disease kronik. Pengamatan yang dilakukan tahun 1950 menunjukkan bahwa
bila terjadi gagal jantung kanan yang menyebabkan kongestif vena sistemik,
harapan hidupnya menjadi kurang dari 4 tahun.
Walaupun
demikian, kemampuan dalam penanganan pasien selama episode akut yang berkaitan
dengan infeksi dan gagal napas mangalami banyak kemajuan dalam 5 tahun
terakhir.
Prognosis
pulmonary heart disease berkaitan dengan penyakit paru yang mendasarinya.
Pasien yang mengalami pulmonary heart disease akibat obliterasi pembuluh darh
arteri kecil yang terjadi secara perlahan-lahan akibat penyakit intrinsiknya
(misal emboli), atau akibat fibrosis intertisial harapan juntuk
perbaikannya kecil karena kemungkinan perubahan anatomi yang terjadi subah
menetap. Harapan hidup pasien PPOK jauh lebih baik bila analisis gas darahnya
dapat dipertahankan mendekati normal.
J.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a.
Anamnesa,meliputi:
Informasi
yang didapat pada anamnesis dapat berbeda antara satu penderita dengan
penderita lain tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan CP. CP akut
akibat emboli paru keluhannya adalah sesak tiba-tiba pada saat istrahat,
kadang-kadang didapatkan batuk-batuk, dan hemoptisis.
Pada
penderita CP dengan PPOM sebagai penyakit dasarnya maka keluhannya adalah sesak
nafas disertai batuk yang produktif (banyak sputum). Pada penderita CP dengan
Hipertensi Pulmonal Primer, keluhannya berupa sesak nafas dan sering pingsan
jika beraktivitas (exertional syncope). Dalam hal mengevaluasi keluhan sesak
nafas, haruslah disingkirkan adanya kelainan pada jantung kiri sebagai kelainan
jantung kiri (misalnya: Stenosis mitral, payah jantung kiri) menimbulkan
keluhan orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea. Jika terjadi gagal jantung
kanan maka keluhan bengkak pada perut dan kaki serta cepat lelah sering
terjadi.
1)
Identitas pasien
·
Kor pulmonal dapat terjadi pada
orang dewasa dan pada anak-anak. Untuk orang dewasa, kasus yang paling sering
ditemukan adalah pada lansia karena sering didapati dengan kebiasaan merokok dan
terpapar polusi. Hal ini di dasarkan pada epidemiologi penyakit-penyakit yang
menjadi penyebab kor pulmonal, karena hipertensi pulmonal merupakan dampak dari
beberepa penyakit yang menyerang paru-paru.
§
Untuk kasus anak-anak, umumnya
terjadi kor pulmonal akibat obstruksi saluran napas atas seperti hipertrofi
tonsil dan adenoid.
·
Jenis pekerjaan yang dapat menjadi
resiko terjadinya kor pulmonal adalah para pekerja yang sering terpapar polusi
udara dan kebiasaan merokok yang tinggi.
·
Lingkungan tempat tinggal yang dapat
menjadi resiko terjadinya kor pulmonal adalah lingkungan yang dekat daerah
perindustrian, dan kondisi rumah yang kurang memenuhi persyaratan rumah yang
sehat. Contohnya ventilasi rumah yang kurang baik, hal ini akan semakin memicu
terjadinya penyakit-penyakit paru dan berakibat terjadinya kor pulmonal.
2)
Riwayat sakit dan Kesehatan
·
Keluhan utama
Pasien dengan kor pulmonal
sering mengeluh sesak, nyeri dada
·
Riwayat penyakit saat ini
Pada pasien kor pulmonal, biasanya
akan diawali dengan tanda-tanda mudah letih, sesak, nyeri dada, batuk yang
tidak produktif. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa
tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan
keluhan-keluhan tersebut.
Penyebab kelemahan fisik setelah
melakukan aktifitas ringan sampai berat:
v Seperti
apa kelemahan melakukan aktifitas yang dirasakan, biasanya disertai sesak
nafas.
v Apakah
kelemahan fisik bersifat local atau keseluruhan system otot rangka dan apakah
disertai ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan.
v Bagaimana
nilai rentang kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
v Kapan
timbulnya keluhan kelemahan beraktifitas, seberapa lamanya kelemahan
beraktifitas, apakah setiap waktu, saat istirahat ataupun saat beraktifitas
·
Riwayat penyakit dahulu
Klien dengan kor pulmonal biasanya
memilki riwayat penyakit seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),
fibrosis paru, fibrosis pleura, dan yang paling sering adalah klien dengan
riwayat hipertensi pulmonal.
3)
Pemeriksaan fisik : Review Of System
(ROS)
a)
B1 (BREATH)
·
Pola napas : irama tidak teratur
·
Jenis: Dispnoe
·
Suara napas: wheezing
·
Sesak napas (+)
b)
B2 (BLOOD)
·
Irama jantung : ireguler s1/s2
tunggal (-)
·
Nyeri dada (+)
·
Bunyi jantung: murmur
·
CRT : tidak terkaji
·
Akral : dingin basah
c)
B3 (BRAIN)
·
Penglihatan (mata):
Ø Pupil
: tidak terkaji
Ø Selera/konjungtiva
: tidak terkaji
·
Gangguan pendengaran/telinga: tidak
terkaji
·
Penciuman (hidung) : tidak terkaji
·
Pusing
·
Gangguan kesadaran
d)
B4 (BLADDER)
·
Urin:
Ø Jumlah
: kurang dari 1-2 cc/kg BB/jam
Ø Warna
: kuning pekat
Ø Bau
: khas
·
Oliguria
e)
B5 (BOWEL)
·
Nafsu makan : menurun
·
Mulut dan tenggorokan : tidak
terkaji
·
Abdomen : asites
·
Peristaltic : tidak terkaji
f)
B6 (BONE)
·
Kemampuan pergerakan sendi: terbatas
·
Kekuatan otot : lemah
·
Turgor : jelek
·
Oedema
4)
Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap
penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien
terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya, kecemasan terhadap penyakit.
2. Diagnosa
keperawatan
1)
Gangguan pertukaran gas yang b.d.
hipoksemia secara reversible/menetap, refraktori dan kebocoran interstisial
pulmonal/alveolar pada status cedera kapiler paru.
2)
Ketidakefektifan pola napas b.d.
sempitnya lapang respirasi dan penekanan toraks.
3)
Ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh b.d. penurunan nafsu makan (energi lebih banyak digunakan
untuk usaha bernapas, sehingga metabolism berlangsung lebih cepat).
4)
Intoleransi aktifitas yang
b.d. kelemahan fisik dan keletihan.
5)
Perubahan pola eliminasi urin b.d.
oliguria.
3. Perencanaan
Keperawatan
1)
Gangguan pertukaran gas yang b.d.
Hipoksemia secara reversible/menetap, refraktori dan kebocoran interstisial
pulmonal/alveolar pada status cedera kapiler paru.
·
Tujuan : Mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat untuk
keperluan tubuh.
·
Kriteria hasil :
·
Intervensi dan Rasional :
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
|
Berguna dalam evaluasi derajat
distress pernapasan dan/atau kronisnya proses penyakit.
|
|
|
Pengiriman oksigen dapat
diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan
kolaps jalan nafas, dispnea dan kerja nafas.
|
|
|
Sianosis mungkin perifer (terlihat
pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar bibir/atau daun telinga).
Keabu-abuan dan diagnosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.
|
|
|
Kental, tebal, dan banyaknya
sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan nafas kecil.
Penghisapan dibutuhkan bila batuk tidak efektif.
|
|
|
Bunyi nafas mugkin redup karena
aliran udara atau area konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan secret.
Krekel basah menyebar menunjukkan cairan pada intertisial/dekompensasi
jantung.
|
|
|
Penurunan getaran fibrasi diduga
ada pengumpulan cairan atau udara terjebak.
|
|
|
Gelisah dan ansietas adalah
manifestasi umum pada hypoxia, GDA memburuk disertai bingung/ somnolen
menunjukkan disfungsi sersbral yang berhubungan dengan hipoksemia.
|
|
|
Selama distress pernapasan
berat/akut/refraktori pasien secara total tak mampu melakukan aktifitas
sehari-hari karena hipoksemia dan dispnea. Istirahat diselingi aktifitas
perawatan masih penting dari program pengobatan. Namun, program latihan ditujukan
untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan tanpa menyebabkan dispnea berat,
dan dapat meningkatkan rasa sehat.
|
|
|
Tachycardia, disritmia, dan
perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi
jantung.
|
|
Kolaborasi
|
Paco2 biasanya meningkat
(bronchitis, enfisema) dan pao2 secara umum menurun, sehingga hipoksia
terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar. Catatan: paco2 “normal”
atau meningkat menandakan kegagalan pernapasan yang akan datang selama
asmatik.
|
|
|
Dapat memperbaiki/mencegah
memburuknya hypoxia. Catatan: emfisema kronis, mengatur pernapasan pasien
ditentukan oleh kadar CO2 dan mungkin dieluarkan dengan peningkatan pao2
berlebihan.
|
|
|
Digunakan untuk mengontrol
ansietas/gelisah yang meningkatkan konsumsi oksigen/kebutuhan, eksaserbasi
dispnea. Dipantau ketat karena dapat terjadi gagal nafas.
|
|
|
Terjadinya/kegagalan nafas yang
akan datang memerlukan penyelamatan hidup.
|
2)
Ketidakefektifan pola napas b.d. Hipoksia.
·
Tujuan
:
·
Kriteria
hasil :
·
Intervensi dan Rasional :
|
Tindakan/intervensi
|
Rasional
|
|
|
Memaksimalkan ekspansi paru,
menurunkan kerja pernapasan, dan menurunkan resiko aspirasi
|
|
|
Membantu meningkatkan difusi gas
dan ekspansi jalan napas kecil, memberika pasien beberapa kontrol terhadap
pernapasan, membantu menurunkan ansietas.
|
|
|
Mengetahui keadekuatan frekuensi
pernapasan dan keefektifan jalan napas
|
3)
Ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh b.d. Penurunan nafsu makan (energi lebih banyak digunakan
untuk usaha bernapas, sehingga metabolism berlangsung lebih cepat).
·
Tujuan
: Nafsu makan membaik.
·
Kriteria
hasil :
·
Intervensi dan Rasional :
|
Tindakan/intervensi
|
Rasional
|
|
|
Agar pasien mau memenuhi diet yang
disarankan untuk kebutuhan nutrisi dalam metabolisme.
|
|
|
Mengurangi anorexia pada pasien.
|
|
|
Untuk mengetahui perkembangan
asupan gizi klien melalui sampel darah.
|
|
|
Untuk mengetahui perkembangan
klien dalam mempertahankan berat badan normal.
|
|
|
Untuk bisa lebih tepat memberikan
diet kepada pasien sesuai zat gizi dan kalori yang dibutuhkan.
|
|
|
Menambah nafsu makan dan
membersihkan kuman-kuman yang ada dalam mulut, sehingga makanan yang klien
makan akan terasa lebih nikmat.
|
4)
Intoleransi aktivitas berhubungan
ketidakseimbbangan antara suplai dan demand oksigen
·
Tujuan
: keseimbanagn antara suplai dan demand oksigen.
·
Kriteria
hasil :
mentoleransi aktivitas yang biasa dilakukan dan di tunjukkan dengan daya tahan,
menunjukkan penghematan energi.
·
Intervensi dan Rasional :
|
Tindakan/
Intervensi
|
Rasional
|
|
|
Ajarkan klien bagaimana
meningkatkan rasa kontrol dan mandiri dengan kondisi yang ada
|
|
|
Istirahat memungkinkan tubuh
memperbaiki energy yang digunakan selama aktifitas
|
|
|
Dengan ahli gizi, perawat dapat
menentukan jenis-jenis makanan yang harus dikonsumsi untuk memaksimalkan
pembentukan energy dalam tubuh pasien.
|
5)
Perubahan pola eliminasi urin b.d.
Penurunan curah jantung.
·
Tujuan
: mengembalikan pola eliminasi urin normal.
·
Kriteria
hasil : klien
menunjukkan pola pengeluaran urin yang normal, klien menunjukkan pengetahuan
yang adekuat tentang eliminasi urin.
·
Intervensi dan Rasional :
|
Tindakan/intervensi
|
Rasional
|
|
|
Pengeluaran
urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Posisi
terlentang membantu diuresis sehingga pengeluaran urine dapat ditingkatkan
selama tirah baring.
|
|
|
Terapi
diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-tiba/berlebihan
(hipovolemia) meskipun edema/asites masih ada.
|
|
|
Posisi
tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga
meningkatkan dieresis.
|
|
|
Hipertensi
dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan
terjadinya peningkatan kongesti paru, gagal jantung.
|
|
|
Kongesti
visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi gaster/intestinal.
|
|
|
Perlu
memberikan diet yang dapat diterima klien yang memenuhi kebutuhan kalori
dalam pembatasan natrium.
|
DAFTAR PUSTAKA
A
Sovari, Ali.2009.Cor Pulmonal.(online),emedicine.medscape.com,7 Oktober
2009
Boughman, Diane C & Hackley,
Joann C.2000.Buku Saku Keperawatan Medical Bedah.Jakarta:EGC
Wilkinson, Judith. M.2002.Buku Saku
Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria NOC.EGC:Jakarta
Alpert JS, Rippe JM. Cor Pulmonale.
In: Manual of Cardiovascular Diagnosis ang Therapy. 4th edition Little Brown
Co. Boston 1996.p 320-325.
Newman JH, Ross JC. Chronic Cor
Pulmonale. In:The heart 8th edition. Eds; Schlant RC, Alexander RW. McGraw Hill
Co.New York San Francisco 1994.p 1895-1904.
Wiedeman HP, Matthay RA. Cor
Pulmonale. In; Heart Disease. 5th edition. Ed. Braunwald E. WB Saunders
Philadelphia 1997.p 1604-1620.
Buttler J. Braunwald E. Cor Pulmonale.
In:Harrisons Principles of Internal Medicine. 13 rd edition. Eds. Isselbacher,
Braunwald, Wilson et al. McGraw Hill.New York St.Louis San Fransisco.1994.p
1085-1088.
----------.1997.Mastering
Medical-Surgical Nursing.USA:Springhouse Corporation.
----------.2001.Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam.Jakarta:Balai Penerbit FK UI
http://books.google.co.id/books?id=wzIGJflmD4gC&pg=PA184&lpg=PA184&dq=%22prevalensi+kor+pulmonal%22&source=bl&ots=c0hU0FIQt2&sig=eTKShvi2moK1eAo6SL65E2rXq0&hl=id&ei=RxzbStefK9CAkQX7gZnJDg&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=8&ved=0CBgQ6AEwBw#v=onepage&q=&f=false
keren sob artikelnya :)
BalasHapushttp://goo.gl/di5aSY
Oke. Makasih
BalasHapus